Jumat, 24 Desember 2010

Kelumpuhan UMN

Kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) umumnya melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis. Istilah paralisis atau plegia merujuk pada kehilangan total kontraktilitas otot. Sedangkan kehilangan kontraktilitas yang tidak total disebut paresis. Hemiplegia adalah kelumpuhan pada salah satu lengan dan kaki pada sisi yang sama. Di batang otak, daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans. Sebagai contoh pada pupil yang melebar unilateral dan tidak bereaksi, menunjukkan adanya tekanan pada saraf ke-3.
     Lesi pada satu sisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai pada medula spinalis, sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia. Lesi pada korda spinalis dapat komplit atau inkomplit. Lesi komplit, mempengaruhi semua bagian dari korda pada satu tingkat tertentu, sehingga mengakibatkan 

Abalisis Stroke

Jurnal ini berisi tentang hubungan konsumsi makanan atau minuman dari susu dengan penurunan tekanan darah dan kejadian stroke. Pada jurnal ini penelitian yang dilakukan merupakan jenis meta analisis yaitu menganalisis beberapa penelitian sebelumnya tentang pengaruh konsumsi makanan dan minuman dari susu terhadap penurunan tekanan darah dan resiko stroke sehingga 
menghasilkan kesimpulan yang sama. Dalam jurnal ini ada beberapa hasil yang dapat dipaparkan antara lain mengenai
Konsumsi Produk Susu dan Stroke
        (a) Pada orang yang bukan peminum susu ternyata stroke embolik trombositnya 2 kalinya dari orang yang minum susu > 240 ml / hari. (b) Asupan total diet Ca dari susu memang berhubungan dengan penurunan resiko stroke namun tidak untuk asupan diet Ca non susu. (c) Asupan 3 mineral pada susu (Ca, K, Mg) berhubungan dengan penurunan kejadian stroke khususnya stroke iskemic bukan stroke jenis lain.
Kandungan Gizi Produk Susu dan Stroke
     (b) Pengaturan energi, umur, jenis kelamin dan peningkatan 10 mmol K berhubungan dengan penurunan resiko stroke sebesar 40%. (b) 240 ml susu berisi 9.5 mmol K (381 mg). (c) Resiko stroke lebih tinggi pada orang kulit hitam karena rendahnya asupan K (< 1260 dan > 2206 mg / hari) dibandingkan orang kulit putih.
Konsumsi Produk Susu dan Tekanan Darah
      (c) Kombinasi diet DASH yang terdiri dari 360 ml susu rendah lemak atau tanpa lemak, 86 g yoghurt dan 39 g keju adalah 731, 314, 57 mg lebih besar daripada buah dan sayur tanpa susu. Penggantian susu dengan 33 g daging dan ayam, 17 g minyak dan lemak, peningkatan konsumsi buah dan sayur ternyata lebih efekif untuk menurunkan tekanan darah. (b) Diet DASH yang terdiri dari 3 porsi produk susu per hari 2 kali lebih efektif daripada diet amerika dalam hal menurunkan tekanan darah. (c) FDA membenarkan diet makanan yang berisi K dan rendah Na dapat menurunkan tekanan darah dan resiko stroke dengan komposisi diet yaitu 350 mg K, < 140 mg Na, < 3 g protein total, ≤ 1 g lemak jenuh, dan tidak > 15 % energi dari asam lemak jenuh. 
     (d) Produk yang boleh dikonsumsi : susu dan Yoghurt rendah lemak.
Efek Konsumsi Produk Susu dan Zat Gizinya terhadap Kardiovaskuler
Peningkatan konsumsi susu atau keju bukan daging atau ikan dapat menurunkan antigen aktivator jaringan tipe plasminogen (t-PA) yang berfungsi sebagai penggumpal darah.
Konsumsi Produk Susu , Kandungan Gizi dan Resistensi Insulin
(a) Susu memberikan 16% asupan Mg per hari. 
(b) Serum Mg berhubungan terbalik dengan kecepatan serum insulin, glukosa, SBP, Plasma HDL, kolesterol, Sistol, DBP. 
(c)Insulin resistanse 19% lebih rendah pada diet Mg dan 25 % lebih rendah pada diet K. 
(d) Konsumsi 1 atau lebih susu per hari dapat menurunkan resiko syndrom metabolik. (
e) DBP, kecepatan glukosa trigleserida, HDL lebih rendah pada laki-laki yang mengkonsusi susu lebih banyak.
Produk Susu, Homosistein dan Periksidasi Lemak. Konsumsi Diet kombinasi DASH (telah dijelaskan diatas) ternyata tidak hanya mampu menurunkan tekanan darah tapi juga menurunkan serum homosistein dan peroxidase lemak.

Penatalaksanaan IR, Massage dan terapi latihan pada kondisi post orif closed fracktur anatebra.pdf


       Patah tulang atau yang disebut juga fraktur didefinisikan sebagai suatu perpatahan pada continuitas struktur tulang yang diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak langsung. Dan dapat juga diakibatkan penekanan yang berulang-ulang atau akibat patologik tulang itu sendiri (Apley, 1995). Apabila fragmen fraktur tersebut mengenai kulit disebut sebagai fraktur terbuka, sedangkan apabila fragmen fraktur tidak sampai merobek kulit dikatakan sebagai fraktur tertutup.
      Fraktur bisa dialami siapa saja karena tidak dibatasi oleh umur, baik bayi, maupun lansia dapat mengalami fraktur. Bisa disebabkan oleh trauma maupun suatu penyakit misalnya osteoporosis. Pada lansia mudah terjadi patah tulang saat mengalami trauma atau kecelakaan. Kejadiannya pada wanita 3 kali lebih besar dibanding pria. Wanita dengan osteoporosis merupakan faktor presdiposisi utama (R.Boedi Darmojo, 2000).
      Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cidera oleh sadlah satu sebab, penyebab untuk trauma adalah kecelakaan kerja, olah raga, lalu lintas, dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalulintas ± 12 ribu jiwa pertahun, sehingga dapat disimpulkan trauma menyebabkan dibutuhkannya biaya perawatan yang sangat besar, angka kematian yang tinggi, hilangnya waktu kerja yang banyak, kecacatan sementara dan permanen (Rasjad,1998). Maka kondisi ini sangat diperlukan penanganan seawal mungkin. Dalam gambaran epidemiloginya, fraktur merupakan masalah kesehatan yang menimbulkan kecacatan paling tinggi dari semua trauma kecelakaan kendaraan bermotor. Salah satu contoh dari fraktur ini adalah fraktur antebrachii karena saat terjadi trauma lengan bawah mengalami benturan, atau penekanan yang kuat yang akhirnya menimbulkan suatu perpatahan.

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Pasca Operasi Fraktur Femur1/3 tengah dextra dengan Pemasanganintra Medullary Nail

    


         Fraktur atau patah tulang merupakan suatu keadaan dimana struktur tulang mengalami pemutusan secara sebagian atau keseluruhan (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang. Tekanan tersebut  disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Jika kulit diatasnya masih utuh disebut fraktur tertutup, sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Apley, 1995).
       Setelah dilakukan operasi biasanya permasalahan fisioterapi akan muncul. Permasalahan pada pasca operasi antara lain adalah oedema atau bengkak, nyeri, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta penurunan aktivitas fungsional, khususnya berjalan. Dari permasalahan tersebut, peran fisioterapi sangat diperlukan. Apabila fisioterapi dapat menangani permasalahan tersebut dengan cepat dan tepat, maka dapat menurunkan derajad permasalahan yang ada, bahkan fisioterapi dapat menyembuhkannya sehingga pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula.
       Untuk mengatasi permasalahan tersebut, modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang dapat membantu mengurangi oedema, sehingga nyeri akan berkurang. Active movement dan pasif movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Selain itu, fisioterapi juga harus memberikan latihan transfer ambulasi untuk mengembalikan aktivitas fungsional jalan.
        Semakin banyaknya angka penderita fraktur, peran rumah sakit sangat dibutuhkan didalam penanganan fraktur. Dimana penanganan fraktur ada dua cara, yaitu secara konservatif dan operatif. Penanganan dengan metode konservatif merupakan penanganan fraktur tanpa membuka daerah yang mengalami fraktur, yaitu dengan reduksi tertutup atau reposisi dimana prinsip dari reposisi berlawanan dengan arah fraktur. Setelah dilakukan reposisi, kemudian diberikan immobilisasi untuk menstabilkan fragmen tulang yang mengalami fraktur. Pada penanganan secara operatif dilakukan dengan membuka daerah yang mengalami fraktur dengan pemasangan internal fiksasi, pada kasus ini internal fiksasi yang digunakan adalah intra medullary nail.
        Pada kasus ini, metode secara operatif merupakan metode yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan tulang femur diliputi oleh otot yang besar sehingga sulit dilakukan reposisi (Appley, 1995); membutuhkan waktu lama untuk dapat beraktivitas kembali, dimana pasien cenderung untuk bed rest sehingga dapat muncul komplikasi yaitu dekubitus (Setianto, 2007). Selain itu hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dari penjelasan diatas, maka penulis mengambil judul studi kasus tentang penanganan terapi latihan.Pasca open reduction internal fixation (ORIF) fraktur femur 1/3 tengah dextra  

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELLS PALSY DEXTRA


  
 
      Bell’s Palsy merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan yang timbul secara mendadak pada otot di satu sisi wajah. Sampai saat ini belum diketahui penyebabnya (idiopatik), namun sangat mungkin akibat pembengkakan nervus facialis di sisi foramen stilomastoideus. Bell’s Palsy hampir selalu dijumpai unilateral. Selain dijumpai kelumpuhan pada otot wajah, fisioterapis juga menemukan gejala lain seperti air mata keluar secara berlebihan pada sisi yang mengalami kelumpuhan, berkurangnya pengecapan pada dua pertiga lidah yang mengalami kelumpuhan.
      Gejala tersebut timbul akibat kongjutiva bulbi menjadi penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga dengan mudah mengalami iritasi oleh angin, debu dan sebagainya. Berkurangnya ketajaman pengecapan disebabkan karena odema pada nervus facialis pada sisi foramen stilomastoideus (Chusid, 1990).
       Insiden penyakit ini terjadi pada segala usia, terbanyak 20-50 th, angka kejadian 20-25 per 100.000 populasi, wanita lebih banyak daripada laki-laki, dan banyak kasus tejadi pada wanita hamil dan penderita diabetes (Setiawan, 2008).
       Di Amerika serikat insiden penyakit ini sebesar 20 orang per 100.000 penduduk per tahun, di Indonesia Asia insidennya masih belum ada angka pasti. Kalau dianggap insidennya sama dengan Amerika serikat, maka diIndonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 180 juta maka akan didapat sekitar 36.000 kasus dalam satu tahun. Bila sekarang diperkirakan jumlah penduduk kita sekitar 250 juta, maka akan didapatkan sekitar 50.000- 65.000 kasus setahun (Anggraeni, 1993).
       Panatalaksanaan bell’s palsy sendiri masih sering mengundang kontroversi bukan hanya dalam bidang medis tapi juga dalam bidang fisioterapi, Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dan obat-obatan antivirus pada 48 jam pertama setelah onset (Ginsberg, 2008). Tetapi tanpa pengobatan inipun 85-90% pasien akan mengalami perbaikan total dalam hitungan minggu atau bulan. Sisanya, mungkin mengalami perbaikan parsial yang memuaskan, pendapat ini sejalan dengan Sidharta (2000) yang mengemukakan bahwa bell’s palsy dapat sembuh sendiri dalam 5 hari sampai 2 bulan.
       Dari berbagai pengantar diatas penulis mencoba untuk sedikit mamberikan rasionalisasi konsep- konsep dasar dari sisi fisioterapi berupa efek fisiologis dan terapeutik dari modalitas- modalitas fisioterapi yang umumnya diberikan pada kasus bell’s palsy, dengan harapan akan dapat memberikan modalitas fisioterapi umumnya yaitu berupa infra red, electrical stimulation, massage dan mirror exercise terhadap kondisi bell’s palsy.

Fraktur femur 1/3 bagian tengah dextra


      Fraktur atau patah tulang merupakan suatu keadaan dimana struktur tulang mengalami pemutusan secara sebagian atau keseluruhan (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang. Tekanan tersebut 3 disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Jika kulit diatasnya masih utuh disebut fraktur tertutup, sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Apley, 1995).
       Setelah dilakukan operasi biasanya permasalahan fisioterapi akan muncul. Permasalahan pada pasca operasi antara lain adalah oedema atau bengkak, nyeri, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta penurunan aktivitas fungsional, khususnya berjalan. Dari permasalahan tersebut, peran fisioterapi sangat diperlukan. Apabila fisioterapi dapat menangani permasalahan tersebut dengan cepat dan tepat, maka dapat menurunkan derajad permasalahan yang ada, bahkan fisioterapi dapat menyembuhkannya sehingga pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula.
       Untuk mengatasi permasalahan tersebut, modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang dapat membantu mengurangi oedema, sehingga nyeri akan berkurang. Active movement dan pasif movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Selain itu, fisioterapi juga harus memberikan latihan transfer ambulasi untuk mengembalikan aktivitas fungsional jalan.
        Semakin banyaknya angka penderita fraktur, peran rumah sakit sangat dibutuhkan didalam penanganan fraktur. Dimana penanganan fraktur ada dua cara, yaitu secara konservatif dan operatif. Penanganan dengan metode konservatif merupakan penanganan fraktur tanpa membuka daerah yang mengalami fraktur, yaitu dengan reduksi tertutup atau reposisi dimana prinsip dari reposisi berlawanan dengan arah fraktur. Setelah dilakukan reposisi, kemudian diberikan immobilisasi untuk menstabilkan fragmen tulang yang mengalami fraktur. Pada penanganan secara operatif dilakukan dengan membuka daerah yang mengalami fraktur dengan pemasangan internal fiksasi, pada kasus ini internal fiksasi yang digunakan adalah intra medullary nail.
        Pada kasus ini, metode secara operatif merupakan metode yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan tulang femur diliputi oleh otot yang besar sehingga sulit dilakukan reposisi (Appley, 1995); membutuhkan waktu lama untuk dapat beraktivitas kembali, dimana pasien cenderung untuk bed rest sehingga dapat muncul komplikasi yaitu dekubitus (Setianto, 2007). Selain itu hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dari penjelasan diatas, maka penulis mengambil judul studi kasus tentang penanganan terapi latihan.Pasca open reduction internal fixation (ORIF) fraktur femur 1/3 tengah dextra.

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KASUS POST FRAKTUR CRURIS 1/3 TENGAH DEXTRA DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW



      Pengertian fraktur menurut Dorland (1994) adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan karena trauma atau keadaan patologis, sedangkan menurut Apley (1995) adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang.
       Adapun permasalahan yang akan timbul baik kapasitas fisik berupa: adanya nyeri pada tungkai kanan, adanya odem pada ankle kanan, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot tungkai kiri serta masalah kemampuan fungsional. Untuk mengetahui seberapa besar permasalahan yang timbul perlu dilakukan pemeriksaan, misalnya untuk nyeri dengan VDS, oedem dengan antropometri, penurunan lingkup gerak sendi dengan goneometer, kekuatan otot dengan MMT dan pemeriksaan kemampuan fungsional dengan indeks barthel. Dalam mengatasi permasalahan tersebut modalitas terapi latihan dapat diperoleh adanya pengurangan nyeri, peningkatan lingkup gerak sendi, penurunan oedem, peningkatan kekuatan otot serta berkurangnya gangguan untuk aktivitas fungsional.
       Penelitian Karya Tulis ini menggunakn metode studi kasus dengan pelaksanaan terapi sebanyak enam kali. Adapun hasil setelah dilaksanakan terapi selama enam kali adalah sebagai berikut: nyeri gerak dari T1 = 7 dan T6 = 3, nyeri tekan = 5 dan T6 = 1, nyeri diam = 4 dan T6 = 1. Kekuatan otot pada tungkai kanan dari T1 = fleksor knee 3, ekstensor knee 3, dorsal fleksi ankle 2, plantar fleksi ankle 2 menjadi T6 = fleksor knee 4+, ekstensor knee 4, dorsal fleksi ankle 4, plantar fleksi ankle 4. LGS ankle aktif T1 = 15-0-30 menjadi T6 =15-0-45, pasif T1 = 20-0-35 menjadi T6 =20-0-50, knee aktif T1 = 0-0-110 menjadi T6 = 0-
0-130, pasif T1 = 0-0-120 menjadi T6 = 0-0-130. Oedem pada tuberositas tibia: tuberositas ke distal 10 cm T1 = 36 cm menjadi T6 = 32, tuberositas tibia ke distal 15 cm T1 = 26 menjadi T6 = 25, tuberositas tibia ke distal 20 cm T1 = 21 menjadi T6 = 21 dan pada maleolus lateral: maleolus ke distal 5 cm T1 = 25 menjadi T6 = 24, maleolus ke distal 10 cm T1 = 24 menjadi T6 = 22, maleolus ke distal 15 cm T1 = 24 menjadi T6 = 22. Untuk kemampuan fungsional pasien mengalami peningkatan T1 = 73 menjadi T6 = 90 dan sudah mampu berjalan tapi dengan menggunakan kruk. Dalam mengurangi nyeri dan masalah-masalah yang timbul fisioterapi dengan modalitas Terapi Latihan dapat mengurangi nyeri dan masalah yang dialami pasien. Dengan pemberian modalitas Terapi Latihan tersebut diharapkan nyeri, odem, penurunan LGS, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan kapasitas fisik dan fungsional dapat diatasi sehingga pasien dapat kembali beraktifitas seperti sebelumnya.

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI PASKA OPERASI SECTIO CAESARIA




        Proses persalinan merupakan proses pengeluaran janin dari uterus. Dalam proses ini, terkadang janin tidak  dapat dilahirkan secara spontan dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu adanya disporposi kepala panggul (DKP), gawat janin, dan lain-lain. Dalam keadaan ini perlu tindakan medis berupa sectio caesarea. Sectio caesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Menurut Peal dan Chamberlina, indikasi untuk sectio caesarea adalah disproporsi panggul (21%) gawat janin (14%), plasenta previa (11%), pernah sectio caesarea (11%), kelainan letak (1%), ketuban pecah dini (11%), hipertensi (17%) dengan angka kematian ibu sebelum dikoreksi 17% dan sesudah dikoreksi 0,58%, sedangkan untuk kematian janin pada proses sectio caesarea adalah 14,5% (Sarwono, 1981).
        Dilihat dari segi fisioterapi terdapat beberapa permasalahan yang mungkin timbul akibat dari sectio caesare. Masalah yang mungkin terjadi antara lain timbul nyeri pada daerah incisi, penurunan kekuatan otot perut, penurunan elastis otot dasar panggul, penurunan elastis otot perut menurun. Kecenderungan untuk terjadi deep vein thrombosis, gangguan proses laktasi, gangguan aktivitas saat tidur miring, duduk, berdiri, dan gangguan dalam aktivitas sehari-hari misal mandi, buang air kecil (BAK), buang air besar(BAB).
         Nyeri dianggap sebagai proses normal suatu pertahanan tubuh, yang diperlukan untuk memberi tanda bahwa telah terjadi kerusakan jaringan (Nugroho, 2001). Pada pasien post sectio caesarea terjadi nyeri karena kerobekan jaringan pada dinding perut dan dinding uterus sehingga akan mengaktifkan 3 reseptor nyeri perifer dan menimbulkan proses mekanisme pertahanan tubuh.
         Disamping reaksi peradangan lokal, adanya nyeri juga akan mengaktifkan saraf-saraf simpatis dengan akibat timbulnya hiperaktif saraf simpatis (Nugroho, 2001).
         Melihat permasalahan yang ada, salah satu modalitas fisioterapi yang dapat diberikan adalah terapi latihan. Terapi latihan dengan active movement (post natal exercise).

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI MICRO WAVE DIATHERMY DAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU UNILATERAL




       Diantara lebih dari 100 jenis penyakit sendi yang dikenal, Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi yang paling sering ditemukan di dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan gangguan gerakan sendi sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Osteoarthritis di masukkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ke dalam salah satu dari empat kondisi otot dan tulang yang membebani individu, system kesehatan maupun system perawatan sosial dengan biaya yang cukup besar. Di seluruh dunia diperkirakan 9,6 % pria dan 18 % wanita diatas usia 60 tahun menderita osteoarthritis. Penyakit ini meningkat akibat bertambahnya usia harapan hidup, obesitas (kegemukan).
      Osteoarthritis juga dimasukkan menjadi penyebab terbanyak kecacatan dan disabilitas. Menurut data World Health Organization (WHO), 40 persen penduduk dunia yang berusia lebih dari 70 tahun akan menderita OA lutut, 80 persen di antaranya berdampak pada keterbatasan gerak Pada tahun 2020, WHO memperkirakan penyakit ini akan menjadi penyebab utama disabilitas umat manusia indonesia setelah arthritis rheumatoid (jenis penyakit rematik yang mengenai jari tangan/jari kaki), osteoporosis (keropos tulang) dan nyeri punggung bawah. Indonesia merupakan Negara ke-4 dengan jumlah lansia terbanyak sesudah china, India, dan Amerika Serikat. Menurut data dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) tahun 2000, jumlah lansia di Indonesia 15 juta dan menjadi 18 juta pada tahun 2005. Di RS.Cipto Mangun Kusuma Jakarta, osteoarthritis menduduki urutan kedua setelah rematik luar sendi, meski bukan penyakit yang mendatangkan maut tetapi berdampak lansung pada kuliatas hidup penderita. Karena memburuknya rasa nyeri hingga menimbulkan disabilitas. Penyakit ini menyerang sendi-sendi penompang berat badan, seperti pinggang, lutut dan leher.
        Prevalensi atau insiden pada populasi tidak dipengaruhi oleh iklim, lokasi geografis, suku bangsa atau warna kulit. Pada umumnya laki-laki dan wanita sama-sama dapat terkena penyakit ini, meskipun sebelum 45 tahun, lebih sering pada laki-laki tetapi setelah umur 45 tahun lebih banyak pada wanita. Osteoarthriris adalah suatu kerusakan pada permukaan kartilago yang ditandai dengan perubahan histologi, klinis dan radiologi. Sedangkan kelainan utama pada OA adalah kerusakan tulang rawan sendi yang sering diikuti penebalan tulang subkhondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen serta kapsul sendi dan sering dijumpai tanda peradangan pada sinovial sehingga dalam sendi sering didapati efusi.
        Osteoarthritis umumnya menyerang sendi penopang tubuh, seperti sendi lutut, panggul, pinggang dan dapat juga mengenai sendi jari tangan terutama sendi interfalang distal dan interfalang proksimal. Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena OA. Sebagaimana menurut Kellgren dan Lawrence melaporkan bahwa prevalensi terjadinya OA lutut adalah 40,7% pada perempuan, dan 29,8% pada laki-laki dengan usia 55-64. Adapun menurut penelititan HANES 1 didapatkan penderita Osteoarthritis sendi lutut pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki (7,6% dibandingkan 4,3%).
         Problematik fisioterapi pada osteoarthritis knee unilateral meliputiimpairment, functional limitation dan  disability. Problematik yang termasuk impairment, yaitu : (1) adanya nyeri karena disekitar lutut masih terlihat adanya tanda radang dan juga lutut merupakan sendi yang paling banyak dipakai untuk bergerak, selain itu bisa disebabkan karena faktor jenis kelamin, kegemukan, dan penggunaan berlebihan dari sendi lutut tersebut. (2) adanya keterbatasan luas gerak sendi lutut kearah fleksi, (3) adanya penurunan kekuatan otot quadriceps dan hamstring. Problematik yang termasuk functional limitation adalah keterbatasan penderita untuk melakukan aktifitas fungsional dengan tungkai, misalnya: jongkok, berdiri, berjalan lama. Problematik yang termasuk disability adalah penderita tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat seperti semula.
       Fisioterapi dalam mengatasi problematik di atas dapat menggunakan beberapa modalitas diantaranya; Modalitas yang dapat digunakan pada kasus ini antara lain adalah micro wave diathermy (MWD) dan terapi latihan. MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang dapat bermanfaat dalam mengurangi nyeri.
         MWD cocok untuk jaringan superficial dan struktur artikuler yang dekat dengan permukaan kulit, misalnya pada permukaan anterior pergelangan tangan dan lutut. Salah satu tujuan utama dari terapi MWD adalah untuk memanaskan jaringan otot sehingga akan memberi efek relaksasi pada otot dan meningkatkan aliran darah intramuskuler, hal ini terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang signifikan.
         Selain MWD modalitas lain yang digunakan untuk kasus OA sendi lutut yaitu terapi latihan. Adapun terapi latihan yang dilakukan berupa active movement dan hold relax. Manfaat dari terapi latihan pada pasien OA sendi lutut adalah peningkatan lingkup gerak sendi (LGS), penguatan otot, peningkatan ketahanan (endurance) statik maupun dinamik dan kenyamanan (wellbeing) pasien. Tujuan dari penatalaksanaan OA sendi lutut adalah untuk mencegah atau menahan kerusakan yang lebih lanjut pada sendi lutut, untuk mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas.

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LBP MIOGENIK




          Nyeri punggung bawah miogenik berhubungan dengan stress/strain otot punggung, tendon, ligament yang biasanya ada bila melakukan aktivitas seharihari berlebihan. Nyeri barsifat tumpul, intensitas bervariasi seringkali menjadi kronik, dapat terlokalisir atau dapat meluas ke sekitar glutea. Nyeri ini tidak disertai dengan hipertensi, parestesi, kelemahan atau defisit neorologis. Bila batuk atau bersin tidak menjalar ke tungkai (Paliyama, 2003). Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan kapasitas fisik berupa nyeri pada punggung bawah, penurunan LGS dan penurunan kekuatan otot fleksor dan ekstensor punggung bawah.Untuk mengetahui seberapa besar permasalahan yang timbul perlu dilakukan pemeriksaan, misalnya untuk nyeri dengn VDS,penurunan LGS dengan midline, penurunan kekuatan otot dengan MMT. Dalam mengatasi permasalahan tersebut modalitas IR Massage dan william flrxi dapat diperoleh adanya penurunan nyeri, peningkatan kekuatan otot,, peningkatan LGS, peningkatan kekuatan otot .
          Penelitian Karya Tulis ini menggunakn metode studi kasus dengan pelaksanaan terapi sebanyak enam kali. Adapun hasil setelah dilaksanakan terapi selama enam kali adalah sebagai berikut: nyeri gerak dari T1 = 5 dan T6 = 4, nyeri tekan = 4 dan T6 = 2, nyeri diam = 3 dan T6 = 1. Kekuatan otot pada punggung bawah dari T1 = fleksi trunk 3 ekstensi trunk 3, menjadi T6 =fleksi trunk 4, ekstensor trunk, 4. LGS pada trunk, fleksi T1 = 46 cm menjadi T6 = 48 cm,.ekstensi trunk T1 = 37 cm menjadi T6 = 38 cm, slide fleksi kanan T1 = 45 cm menjadi T6 = 43 cm, slife fleksi kiri T1 =46 cm,menjadi T6 = 44 cm. Dalam mengurangi masalah-masalah yang timbul, fisioterapi dengan modalita meningkatkan kekuatan otot sehingga pasien dapat kembali beraktifitas seperti sebelumnya.
 

Info Fisioterapi Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Blogger Template © 2009